Welcome, Selamat Datang, Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, semoga bisa menambah relasi pertemanan dan mengikat tali silaturahmi. Blog ini berisi penuh cerita tentang dunia menulis, kuliner, crafting, islamic, pendidikan dan gardening. Sungguh senang jika anda berkenan meninggalkan jejak dan pesan di blog ini. Selamat membaca, semoga bermanfaat:D.

Jumat, 13 Mei 2016

MENGENAL EDY PITINGAN, PEMULUNG YANG HOBI MENULIS

Meskipun menulis merupakan keterampilan menarik, yang  bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai imajinasi dan mampu menuangkannya lewat tulisan. Ternyata menulis juga bisa dijadikan sebagai media katarsis atau penenang jiwa. Hal ini telah banyak disosialisasikan oleh para ahli jiwa baik oleh para psikolog maupun dokter spesialis jiwa.

Seberapapun tantangan kehidupan, menulis bisa menjadi salah satu alternatif dalam meredam gejolak jiwa. Dengan menulis banyak orang yang berhasil mengobarkan semangat hidupnya yang sempat memudar. Bapak BJ.Habibie juga pernah mengungkapkan goncangan jiwanya saat ditinggal istrinya wafat terlebih dahulu. Dan terapi jiwa yang disarankan oleh dokter pribadinya adalah dengan menulis, hingga lahirlah buku tentang bu 'Ainun Habibie' hingga kemudian difilmkan.

Mungkin bagi yang belum merasakan goncangan hidup, manfaat menulis sebagai media katarsis belum begitu terlihat. Namun ketika saya bertemu pak Edy S. Pithingan teori ini akhirnya saya percaya 100%. Siapakah dia? Dia bernama asli Edy Susetyo, namun orang-orang lebih mengenalnya sebagai Edy Pithingan. Phitingan merupakan singkatan dari pincang, kithing (cacat jari tangan) dan mbambungan (gelandangan). Beliau lahir di Blitar 4 Juli 1962.

Tahun 2008, bersama beberapa teman saya mendirikan FLP cabang Blitar. Kami rutin mengadakan pertemuan untuk belajar menulis. Dari bapak-bapak, ibu-ibu, mahasiswa siswa SMA, SMP dan SD pesertanya. Hingga 2011 saya masih aktif mendampingi teman-teman menghidupkan dunia literasi di Blitar.

Nomer hape saya tersebar dimana-mana. Geliat belajar ini ternyata banyak direspon masyarakat. Meskipun yang datang berganti-ganti banyak karya tulisan lahir. Kami  sering berpindah tempat untuk berkumpul membuat diskusi literasi agar tidak bosan.Suatu hari saya mendapat sms, bahwa ada seorang bapak bernama  Edy ingin bergabung dengan FLP Blitar. Saya tahu beliau sudah berumur karena tiap anggota yang daftar lewat sms saya minta identitasnya lewat sms. 

Tiap pekan tempat pertemuan berpindah, saya sms tempat acara berlangsung pekan itu. Saat acara berlangsung saya cek belum ada orang baru ikut datang berkumpul. Segera saya telpon nomor tersebut dengan harapan beliau bisa segera berkumpul bersama kami. Ternyata yang mengangkat suara anak remaja, beliau minta tolong remaja ini menghubungi saya. Dari informasi remaja ini, terkuak bahwa bapak Edy adalah seorang penyandang tuna rungu.

Karena komunikasi dengan lisan sulit dia terima, saya putuskan pak Edy tidak belajar secara classical dengan teman-teman normal pendengaran. Sebab minimnya prasarana, sering tutorial juga arahan untuk teman-teman belajar menulis hanya dengan lisan. Saya pun berniat membuat pelatihan privat buat pak Edy dengan tujuan agar tulisannya bisa komersial dan dengan menulis bisa menaikkan pendapatannya.

Sayangnya hingga saya pindah ke Jakarta saya belum berhasil mengarahkan Pak Edy untuk memperbaiki kualitas tulisannya. Saya belum mampu membantu beliau untuk menjadikan menulis sebagai profesi yang bisa menghasilkan lembar-lembar rupiah. Beliau masih menulis sesuka hatinya. Gaya bahasanya di tulisan juga terkesan liar terlihat sebagai orang jalanan. Namun ada yang harus kita ketahui, semangatnya untuk menulis luar biasa.

Dokumentasi tulisan Pak Edy yang telah dijilid rapi

Kontinuitas atau keistiqomahan dia dalam menulis perlu kita teladani. Tahun 2009 dia memamerkan 3 jilid kumpulan puisi dan cerpen tulisannya, yang hasilnya digandakan dan disumbangkan ke Perpustakaan Taman Kebon Rojo, sebelah masjid Syuhada Haji tempat beliau menumpang tinggal. Sedangkan tahun 2012 sudah ada 17 jilid kumpulan tulisannya.

Beliau menulis sesuka hati, tanpa ada yang mengintervensi. Saat ini saya belum tahu bertambah  berapa jilid lagi, hanya saya dengar kabar bapak ini masih semangat menulis hingga sekarang.

Sehari-hari ia kegiatannya memulung sampah plastik dan botol bekas air minum kemasan dengan tujuan untuk dijual ke pengepul barang bekas. Tak jarang jika sudah terkumpil plastik-plastik itu justru disedekahkan buat temannya. Lalu darimana dia makan kalau tak dapat uang? Beliau begitu percaya rezeki Allah datang kapan saja jika diperlukan.

Pak Edy saat ini tinggal di Blitar, tepatnya di Masjid Syuhada Haji Kota Blitar. Hidupnya terkesan sebatang kara. Karena sulitnya mencari kerja, ia memutuskan bertahan hidup dengan mengais rezeki di tumpukan-tumpukan sampah. Mencari sisa-sisa plastik dan sekadar botol plastik yang tak terpakai untuk dijual kembali.

Namun dari informasi yang saya dapat sebenarnya bapak ini enggan balik ke keluarganya setelah istrinya justru memilih berpisah darinya untuk menikah dengan saudaranya saat ditinggal pak Edy bekerja di rantau. Goncangan jiwa sempat beliau alami hingga akhirnya mengikhlaskan segalanya. Hidup seorang diri pilihannya. 

Untunglah saat meminta ijin untuk tinggal di masjid Syuhada Haji, pihak takmir tak keberatan karena bapak ini santun. Kini sesekali anak kandungnya yang bisnis dengan berjualan  tahu berkunjung. Meskipun ekonominya tak rerlalu baik sang anak mengajaknya hidup bersama namun ditolaknya.

Tahun 1997 pak Edy pernah mengalami kecelakaan parah. Dari sinilah pendengarannya hilang. Saat kecelakan ia terluka cukup parah. Semua harta benda yang dimilikinya dijual habis untuk pengobatan. Saat berkomunikasi, saya menggunakan tulisan untuk bertanya padanya, dan beliau menjawab dengan lisan.

Namun, pak Edy tetap menyimpan optimisme dalam mengarungi kerasnya persaingan. Di tengah semakin mahalnya harga kebutuhan hidup, masyarakat tentu pantas cemas. Namun, pak Edy tak mau larut dalam kekhawatiran. Untuk mengusir kepenatan dan menenangkan hati, ia menulis.Hah? Menulis? Ya, Anda tidak salah, kendati hanya seorang pemulung sampah plastik, pak Edy ternyata doyan menulis.

Patut diketahui, selain menderita gangguan pendengaran, Pak Edy diindikasi sakit diabetes dan tumor jinak di pinggangnya. Meski khawatir dan tiada biaya untuk pengobatan, ia mencoba menghibur diri dengan menulis.
Bagaimana proses kreatifnya dan bagaimana kiatnya menulis dengan segala keterbatasannya sebagai seorang pemulung? Ternyata, ia rajin mengumpulkan kertas yang ditemukannya saat memulung sampah.

Aneka kertas bekas yang disambung Pak Edy dan dijadikan media tulisan
Bekas kertas bungkus nasi, kadang ia bersihkan. Bekas-bekas kalender kadang diberikan orang-orang. Tak jarang ia dapat juga dari tukang foto-kopi sisa kertas foto kopian yang salah namun baliknya masih kosong dan bisa ditulisi. Kertas-kertas itu beliau sambung dengan lem. Pernah terkumpul sambungan kertas itu hingga 10 meter yang disimpan dalam karung goni bekas. Berkaca-kaca saya melihat semangatnya.

Setelah menumpahkan gagasannya lewat karya cerpen dan puisi, ia mengetikkannya ke jasa pengetikan. Biaya mengetik saat itu cukup terjangkau, hanya Rp 1.000,00 per lembar. Namun, ia tak selalu bisa membayar biaya jasa pengetikan.

Suatu ketika, pak Edy membaca buletin LMI (Lembaga Manajemen Infaq) di masjid tempat ia berteduh dan tinggal. Lantas ia berinisiatif ke kantor LMI cabang Blitar. Karena tak punya uang untuk bayar jasa pengetikan, ia mengajukan bantuan laptop untuk menulis. “Tidak harus bagus, bekas pun tak apa-apa,” ujarnya. 

Gayung pun bersambut. LMI bertindak cepat dengan memublikasikannya ke para donatur via SMS center dan internet. Responsnya sangat bagus. Ada donatur yang bersedia menyumbangkan laptopnya yang tak terpakai. Kamis, 16 Februari 2012, tim LMI berkunjung ke masjid tersebut dan memberikan bantuan laptop untuk Pak Edy. 

Di sebuah ruangan sempit tak terpakai di area Masjid Syuhada Haji Blitar pak Edy diijinkan tinggal. Ruangan itu tempat ia beristirahat juga tempat menaruh botol plastik dan sampah-sampah plastik lainnya yang dikumpulkannya sebelum dijual. Di situlah pak Edy bekerja dan menuangkan buah pikirannya.

Sungguh, kisah pak Edy menggugah semangat menulis saya yang kadang kendur. Ia berusaha bangkit dan tak menyerah pada keadaan serta segala keterbatasan. Ia menulis tak sekadar untuk menghibur diri. Ia tak ingin ide dan imajinasinya terpasung keterbatasan dan kesulitan hidup.

Bagaimana, apakah Anda terinspirasi semangat pak Edy dalam menulis? Kalau begitu yuk menulis...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar