Welcome, Selamat Datang, Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, semoga bisa menambah relasi pertemanan dan mengikat tali silaturahmi. Blog ini berisi penuh cerita tentang dunia menulis, kuliner, crafting, islamic, pendidikan dan gardening. Sungguh senang jika anda berkenan meninggalkan jejak dan pesan di blog ini. Selamat membaca, semoga bermanfaat:D.

Selasa, 26 Februari 2013

(CERPEN ANAK) AYAM WARNA-WARNI MILIKKU


AYAM WARNA-WARNI MILIKKU
Karya : Gesang Sari Mawarni

Sumber foto : krismeskeos.wordpress.com    

Pada Minggu pagi memang lebih ramai orang-orang yang melakukan kegiatan berlari pagi. Apalagi hari itu bertepatan dengan pekan liburan sekolah. Jalanan lebih ramai dibanding biasanya. Banyak mbak-mbak dan mas-mas juga adik-adik seusiaku turun ke jalan  berolah raga. Demi menjaga keselamatan anak-anak di jalan raya, maka orang tua mereka turut menyertai berlari pagi. Ayah juga sering menemaniku berolahraga, aku selalu ingat pesan ayah, ”Jika kita ingin sehat maka kita harus rajin berolah raga”.
Pagi hari yang cerah, udara begitu segar aku rasakan. Seusai sholat Subuh tadi, ayah mengajakku berolah raga, jogging atau lari pagi. Dengan berpakaian olah raga lengkap dengan sepatu layaknya seorang atlet nasional. Aku berdiri sambil bergaya “satu-dua, satu-dua...!”, aku berloncat-loncatan kecil.
Pagi ini sambil jalan pagi kami akan mengantar ibu belanja di pasar. Hampir pukul tujuh pagi ketika aku, adik dan kedua orang tuaku sampai di  pasar  Rejomakmur. Sebelumnya, kami masing-masing hanya sarapan segelas susu. Kebiasaan pada keluarga kami, bila bukan hari Minggu sarapan kami agak siang. Kami berangkat ke pasar dengan wajah yang berseri-seri.
            Sesampai di pasar hanya ibu dan adik yang masuk ke dalam pasar. Ayah membonceng tanganku menuju penjual binatang-binatang. Awalnya aku sangat tertarik untuk melihat-lihat kelinci  yang diletakkan di dalam kandang yang termuat di gerobak kayu. Lucu sekali, ternyata kelinci itu banyak ragam jenisnya. Ada yang jenisnya besar kata penjualnya jenis Flam, ada juga yang kecil  dan belang warnanya dan disebut dengan jenis Rex. Ada juga yang jenis lokal yang sudah ada sejak dahulu di Indonesia.
Kami juga melihat ayam yang warnanya mencolok seperti dicat saja, berwarna-warni ternyata menurut  ayah memang sengaja dibikin seperti itu oleh penjualnya agar bulunya semakin menarik. “Buktinya kamu tertarik kan?” kata ayah.
“Masa sih Yah…, aku tak percaya! ” kataku lantang.
            ”Aku ingin memelihara ayam-ayam itu Yah. Ayah tolong belikan Ririn ayam-ayam itu…!”,  rengekku.
“Kalau ingin memelihara, tidak usah membeli Rin, kita minta saja pada Paman Ucok, bukankah kemarin kamu ditawari untuk memeliharanya dan kamu akan diberi beberapa ekor, tetapi kamu tidak mau, beliau punya ayam yang jumlahnya banyak…!”, kata ayah bijak
“Aku tidak mau Yah…, ayam paman tak ada yang warnanya seperti itu! Pokoknya Ririn pengen ayam itu...! Tidak yang lainnya”,  kataku merajuk dan setengah menangis karena ayah tetap bersikukuh tak jua mau membelikan aku ayam warna-warni itu.
”Apakah kamu sanggup memberi makan dan minum setiap hari?” tanya ayah tak tega setelah melihatku terisak menangis penuh derai air mata.  Aku mengangguk menjawabnya, kemudian ayah membelikanku enam ekor ayam yang kupilih sendiri dari kotak milik pedagangnya.
Penjual menangkap dan memasukkannya ke dalam sangkar kecil yang terbuat dari kawat. Ayam-ayam pilihanku berwarna merah, kuning, hijau, biru, ungu dan orange. Selama liburan aku bertekad akan merawat ayam peliharaanku dengan penuh kasih sayang.
            Awalnya ayam-ayam itu ditaruh sementara di dalam kardus bekas bungkus air mineral, sebelum ayah membuatkannya kandang. Ayah berkata “…jika tetap kita taruh di kardus-kardus maka kasihan ayam-ayam itu. Mereka bisa sangat kedinginan dan kepanasan. Kita berkewajiban memelihara hewan piaraan sebaik mungkin sesuai kadar hak-haknya. Jangan menyakiti binatang, membiarkan kelaparan dan kekurangan air atau menaruhnya di bawah terik matahari.”
”Kita harus berkasih sayang kepada  sesama makhluk Tuhan, kasihanilah makhluk di bumi, niscaya engkau dikasihi yang di langit” kata ayah.
            Kata ayah juga bahwa Tuhan akan menyayangiku, jika aku sayang kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Tidak hanya karena aku sayang pada ayam-ayamku tapi juga karena aku juga sayang pada semua, kepada adik, kepada ayah-ibu, ibu guru, teman-teman,  pokoknya kepada semua.
            Pagi itu  waktu aku memberi makan ayam-ayamku. Aku begitu terkejut dan  akhirnya berteriak memanggil ayah yang tengah sibuk mencuci motor di depan rumah.
            ”Ayah...ayamku sakit, lihat bulunya berubah!”,  kataku sambil mulai menangis tersedu-sedu.
            Bersegera ayah meninggalkan motornya dan menghampiriku yang sedang menangis. “Ada apa Rin? Bulunya berubah ya?” kata ayah, kulihat warna bulu ayam-ayamku sekarang banyak putihnya.
Sudah lima hari  ayam warna-warni itu aku pelihara di rumahku di dalam sebuah kandang buatan ayah dan  dua kantong konsentrat ber-merk ’511’ seberat satu kilogram telah dihabiskan oleh mereka ber-enam. Kini ayam-ayamku sudah kelihatan lebih besar, perkembangannya begitu pesat, tapi sayang bulu-bulunya yang berwarna indah menjadi berubah warna, aku begitu sedih, pagi ini aku terlambat mandi untuk bersiap berangkat sekolah, aku termenung menatap ayam-ayamku yang berubah warna bulunya ini, pasti mereka tengah sakit.
 Aku sedih sekali...bukankah aku telah menyayangi mereka dengan memeliharanya dengan baik, tak terlambat memberi mereka makan dan minum, tapi mengapa mereka masih sakit...?
 Ayah menghampiriku yang tengah terisak di depan kandang ayam “Ayam-ayam ini diberi pewarna Rin, sehingga bisa berwarna-warni begitu cantik kemarin.” kata ayah.
”Benarkah Yah?”, tanyaku. Ayah menjawab dengan anggukan kepala, yang membuatku menyesal karena tidak mau mendengarkan nasehatnya kemarin. Aku baru percaya kini, ternyata ayam-ayam ini tak jauh berbeda dengan ayam-ayam di rumah paman.  Harusnya aku menuruti kata ayah, dengan memelihara ayam pemberian paman Ucok dan tidak terkecoh dengan ayam warna warni di pasar. Seharusnya aku percaya dan menurut nasehat orang tua, karena mereka telah lebih makan asam dan garam kehidupan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar