Karya : Gesang Sari Mawarni
“Kreek….!” suara robekan kain ini telah membuat mata
Dita melebar kembali. Kantuk yang
mendera anak perempuan kelas tiga Sekolah Dasar ini, beberapa waktu tadi tiba-tiba pergi.
Ow, tidak mungkin. Gaun pesanan Bu
Darjo ini telah robek sebelum diterima si empunya. Apalagi kain bahan yang
dipakai tergolong mahal dan langka. Bagaimana ini? Tanya Dita dalam hati.
Sepulang sekolah tadi, sebenarnya dia ingin bermain bersama
teman-temannya, namun ibunya meminta bantuan untuk membongkar jahitan gaun Bu
Darjo. Ada hasil jahitan ibunya yang salah pada gaun itu. Sementara ibunya
pergi memanen telur ayam, ia dengan ogah-ogahan membongkar jahitan baju itu,
hingga rasa kantuk pun tak terasa bersemayam.
Sungguh sobekan itu bukan suatu kesengajaan yang dia buat,
namun ibunya pasti akan murka melihat hasil pekerjaannya ini. Teringat ia akan
kemarahan ibunya beberapa waktu lalu. Terlihatlah ia tak sungguh-sungguh dan
hati-hati dengan pekerjaannya. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang, tangannya
gemetar.
Setengah lagi harusnya dia membongkar jahitan baju Bu Darjo,
namun konsentrasinya berkurang. Beruntung tak ada sobekan pada pekerjaan
selanjutnya, namun kerusakan yang sebelumnya tak bisa begitu saja diperbaiki.
Kain bahan yang dibawa Bu Darjo tak ada sisa. Bagaimana ini?
Ibunya masih beberapa waktu lagi datang dari peternakan ayam
milik keluarga mereka di desa seberang, segera dia bongkar celengan plastik
tempat ia menyimpan sisa uang sakunya selama ini. Uangnya banyak, tanpa
menghitungnya bergegas dia masukkan ke
tas sekolahnya.
Pintu-pintu dan jendela rumah dia tutup. Kunci rumah dia
titipkan Bi Iyah tetangganya. Dia berpamitan hendak ke rumah teman. Dia naik
sepeda mini hingga ujung desa, kemudian menitipkannya ke tempat penitipan sepeda
dan selanjutnya ia naik angkudes
menuju kota. Ya, dia akan naik angkutan ke kota mencari kain untuk pengganti
kain gaun Bu Darjo.
Ini adalah pengalamannya pertama kali naik angkutan ke kota
sendirian. Dia ingat pernah diajak ayahnya naik angkutan ke kota. Menjelang
senja ia sampai di kota, beberapa toko kain telah tutup dan toko kain yang
masih buka tidak menjual kain sejenis.
Sedih menjalari hatinya, akankah dia akan dimarahi ibunya
lagi? Air matanya menetes dan tak terasa isakan juga menemaninya. Begitu keluar
toko langit telah gelap gulita, bagaimana dia harus pulang ke desa?
Bibirnya yang tipis tak henti merapalkan do’a yang
dihafalnya. Teringat dia akan kasus bandit-bandit di kota, tapi mengapa tadi
siang dia tak memperhitungkan segalanya. Tak memperhitungkan segala resiko jika
dia nekat pergi ke kota sendirian. Apalagi pergi hingga senja bahkan malam tiba
dan tanpa ijin orang tua.
Tangisnya tak tertahan, dia dekap tiang listrik di ujung
sebuah perempatan jalan depan sebuah pusat perbelanjaan. Rambutnya telah basah
oleh keringat dan debu. Kakinya kotor terkena debu dan air genangan di jalan.
Masalah yang dia hadapi selanjutnyya adalah, tak ada angkutan menuju desanya
jika malam tiba.
Tiba-tiba ada tangan mencolek lengannya.”Hei anak manis,
mengapa menangis?”
Spontan tangannya menampik tangan kekar lelaki yang tak
dikenalnya itu. Bertambah takutlah dia, seorang laki-laki berkumis tebal,
berambut keriting dan berkulit hitam tiba-tiba ada di hadapannya. Sebuah jaket
kulit dan sepatu lars dikenakannya. Gambaran
para bandit di novel detektif yang pernah ia baca, mirip dengan dengan model
laki-laki di hadapannya. Konsentrasinya jatuh pada tas penuh uang yang
dibawanya.
Hendak dia melarikan diri, namun tangan kokoh lelaki itu
menahannya. “Jangan takut Nak, Bapak seorang polisi ”, kata laki-laki itu sambil memperlihatkan
kartu nama yang ia simpan di sakunya. Ada tulisan ‘POLISI”. Ternyata laki-laki
ini polisi yang menyamar menjadi preman. Berkuranglah rasa takutnya, dan tanpa
ragu diikutinya langkah laki-laki itu menuju pos polisi yang ada di sebrang
jalan.
“Jadi kamu sendirian saja ke kota?” tanya bapak polisi yang
berjaga di pos.
“Iya Pak!”
“Hmm, jangan sedih kami akan mengantarmu pulang! Tapi jangan
diulangi lagi, pergi tanpa ijin orang tuamu ya Nak! “ Nasehat Pak Polisi yang bertampang bak bandit tadi.
Akhirnya dengan diantar Pak Polisi yang baik hati, dia pulang
ke rumah setelah sebelumnya diantar mengambil sepeda mininya yang dititipkan di
penitipan sepeda di ujung desa. Lampu sepeda motor Pak Polisi mendampingi
perjalanan hingga sampai rumahnya.
Begitu tiba di rumah, dia disambut orang tua dan tetangganya.
Mereka bingung mencarinya sejak tadi. Ibunya langsung memeluknya sambil
menangis haru. Tak berapa lama Pak Polisi kembali ke kota.
Kemudian, masuklah mereka ke dalam rumah. Gaun Bu Darjo telah
tergantung indah di almari etalase rumah mereka. Ibunya yang seorang penjahit
kenamaan di desanya telah berhasil menyelesaikannya.
Langkahnya tertuju pada almari etalase dan tangannya meraih
gaun Bu Darjo. Dia amati letak sobekan yang sempat ia torehkan pada gaun cantik
itu, namun tak terlihatlah cacat gaun itu, karena ibunya telah membuat permak
lewat aplikasi yang cantik.
Tangannya masih memegang erat gaun Bu Darjo, sedangkan
matanya menatap mata ibunya yang tengah menatapnya. Sebuah senyuman dari wajah
ibunya telah menghilangkan galaunya, apalagi pelukan. “Lain kali jangan
menyembunyikan masalah ya?” bisik ibunya yang tengah memeluknya. Anggukan
kepala adalah jawaban atas tekadnya.
komentarnya. Ingat, wajib ya...! Makasih....!
** Sumber gambar http://www.iimug.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar