AYAM WARNA-WARNI MILIKKU
Karya : Gesang Sari Mawarni
Sumber foto : krismeskeos.wordpress.com |
Pada Minggu pagi memang lebih ramai
orang-orang yang melakukan kegiatan berlari pagi. Apalagi hari itu bertepatan
dengan pekan liburan sekolah. Jalanan lebih ramai dibanding biasanya. Banyak mbak-mbak dan mas-mas juga adik-adik seusiaku turun ke jalan berolah raga. Demi menjaga
keselamatan anak-anak di jalan raya, maka orang tua mereka turut menyertai
berlari pagi. Ayah juga sering menemaniku berolahraga, aku selalu ingat pesan ayah,
”Jika kita ingin sehat maka kita harus rajin berolah raga”.
Pagi hari
yang cerah, udara begitu segar aku rasakan. Seusai sholat Subuh tadi, ayah mengajakku berolah raga, jogging atau lari pagi. Dengan
berpakaian olah raga lengkap dengan sepatu layaknya seorang atlet nasional. Aku
berdiri sambil bergaya “satu-dua, satu-dua...!”, aku berloncat-loncatan kecil.
Pagi ini
sambil jalan pagi kami akan mengantar ibu belanja di pasar. Hampir pukul tujuh
pagi ketika aku, adik dan kedua orang tuaku sampai di pasar
Rejomakmur. Sebelumnya, kami masing-masing hanya sarapan segelas susu.
Kebiasaan pada keluarga kami, bila bukan hari Minggu sarapan kami agak siang.
Kami berangkat ke pasar dengan wajah yang berseri-seri.
Sesampai di pasar hanya ibu dan adik yang masuk ke dalam pasar. Ayah membonceng tanganku menuju penjual
binatang-binatang. Awalnya aku sangat tertarik untuk melihat-lihat kelinci yang diletakkan di dalam kandang yang termuat di
gerobak kayu. Lucu sekali, ternyata kelinci itu banyak ragam jenisnya. Ada yang jenisnya besar
kata penjualnya jenis Flam, ada juga
yang kecil dan belang warnanya dan
disebut dengan jenis Rex. Ada juga yang jenis lokal yang sudah ada sejak dahulu di Indonesia.
Kami juga melihat ayam yang warnanya
mencolok seperti dicat saja, berwarna-warni ternyata menurut ayah memang sengaja dibikin seperti itu oleh
penjualnya agar bulunya semakin menarik. “Buktinya kamu tertarik kan?” kata ayah.
“Masa sih
Yah…, aku tak percaya! ” kataku lantang.
”Aku ingin memelihara ayam-ayam itu
Yah. Ayah tolong belikan Ririn ayam-ayam itu…!”, rengekku.
“Kalau
ingin memelihara, tidak usah membeli Rin, kita minta saja pada Paman Ucok,
bukankah kemarin kamu ditawari untuk memeliharanya dan kamu akan diberi
beberapa ekor, tetapi kamu tidak mau, beliau punya ayam yang jumlahnya
banyak…!”, kata ayah bijak
“Aku
tidak mau Yah…, ayam paman tak ada yang warnanya seperti itu! Pokoknya Ririn
pengen ayam itu...! Tidak yang lainnya”, kataku merajuk dan setengah menangis karena ayah
tetap bersikukuh tak jua mau membelikan aku ayam warna-warni itu.
”Apakah kamu
sanggup memberi makan dan minum setiap hari?” tanya ayah tak tega setelah
melihatku terisak menangis penuh derai air mata. Aku mengangguk menjawabnya, kemudian ayah
membelikanku enam ekor ayam yang kupilih sendiri dari kotak milik pedagangnya.
Penjual
menangkap dan memasukkannya ke dalam sangkar kecil yang terbuat dari kawat. Ayam-ayam pilihanku berwarna merah,
kuning, hijau, biru, ungu dan orange.
Selama liburan aku bertekad akan merawat ayam peliharaanku dengan penuh kasih
sayang.
Awalnya
ayam-ayam itu ditaruh sementara di dalam kardus bekas bungkus air mineral,
sebelum ayah membuatkannya kandang. Ayah berkata “…jika tetap kita taruh
di kardus-kardus maka kasihan ayam-ayam itu. Mereka bisa sangat kedinginan dan
kepanasan. Kita berkewajiban memelihara hewan piaraan sebaik mungkin sesuai
kadar hak-haknya. Jangan menyakiti binatang, membiarkan kelaparan dan
kekurangan air atau menaruhnya di bawah terik matahari.”
”Kita
harus berkasih sayang kepada sesama
makhluk Tuhan, kasihanilah makhluk di bumi, niscaya engkau dikasihi yang di
langit” kata ayah.
Kata
ayah juga bahwa Tuhan akan menyayangiku, jika aku sayang kepada semua makhluk
ciptaan Tuhan. Tidak hanya karena aku sayang pada ayam-ayamku tapi juga karena
aku juga sayang pada semua, kepada adik, kepada ayah-ibu, ibu guru,
teman-teman, pokoknya kepada semua.
Pagi itu waktu aku memberi makan ayam-ayamku. Aku
begitu terkejut dan akhirnya berteriak
memanggil ayah yang tengah sibuk mencuci motor di depan rumah.
”Ayah...ayamku sakit, lihat bulunya
berubah!”, kataku sambil mulai menangis
tersedu-sedu.
Bersegera
ayah meninggalkan motornya dan menghampiriku yang sedang menangis. “Ada apa
Rin? Bulunya berubah ya?” kata ayah, kulihat warna bulu ayam-ayamku sekarang
banyak putihnya.
Sudah lima
hari ayam warna-warni itu aku pelihara
di rumahku di dalam sebuah kandang buatan ayah dan dua kantong konsentrat ber-merk ’511’
seberat satu kilogram telah dihabiskan oleh mereka ber-enam. Kini ayam-ayamku
sudah kelihatan lebih besar, perkembangannya begitu pesat, tapi sayang
bulu-bulunya yang berwarna indah menjadi berubah warna, aku begitu sedih, pagi
ini aku terlambat mandi untuk bersiap berangkat sekolah, aku termenung menatap
ayam-ayamku yang berubah warna bulunya ini, pasti mereka tengah sakit.
Aku sedih sekali...bukankah aku telah
menyayangi mereka dengan memeliharanya dengan baik, tak terlambat memberi
mereka makan dan minum, tapi mengapa mereka masih sakit...?
Ayah menghampiriku yang tengah terisak di
depan kandang ayam “Ayam-ayam ini diberi pewarna Rin, sehingga bisa
berwarna-warni begitu cantik kemarin.” kata ayah.
”Benarkah
Yah?”, tanyaku. Ayah menjawab dengan anggukan kepala, yang membuatku menyesal
karena tidak mau mendengarkan nasehatnya kemarin. Aku baru percaya kini,
ternyata ayam-ayam ini tak jauh berbeda dengan ayam-ayam di rumah paman. Harusnya aku menuruti kata ayah, dengan
memelihara ayam pemberian paman Ucok dan tidak terkecoh dengan ayam warna warni
di pasar. Seharusnya aku percaya dan menurut nasehat orang tua, karena mereka
telah lebih makan asam dan garam kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar