POHON TUA YANG MURAH SENYUM
(Termuat di Majalah Berdi edisi Februari 2012)
(Termuat di Majalah Berdi edisi Februari 2012)
By : Gesang Sari Mawarni
Di sebuah desa di lereng Gunung Sukaria, tumbuh sebatang pohon usianya
sudah ratusan tahun. Pohon itu kokoh berdiri dan kuat bertahan dari serangan
angin, hujan juga badai. Pohon itu
bernama Pohon Tua. Akarnya yang menghujam ke dalam tanah, juga
dahan-dahannya yang rimbun sangat disukai burung-burung yang hidup di daerah
itu.
Jika siang datang dan matahari bersinar dengan teriknya, burung-burung
itu singgah bertengger pada dahan Pohon Tua. Burung-burung berkicau dengan
riangnya berlindung di balik kanopi-kanopi daun yang melindunginya. “Pohon Tua ijinkan
kami untuk tinggal membuat rumah dan bersarang pada salah satu dahanmu.”
“Ow,ow! Silahkan burung-burung cantik, aku juga merasa beruntung jika kau
mau tinggal. Aku senang dengan banyak kawan, jadi aku tak kesepian.”
Orang-orang di sekitar tempat itu pun sangat suka dengan Pohon Tua. Pada
siang hari di musim kemarau para petani yang pulang dari ladang di tengah hari,
meluangkan waktunya barang sejenak untuk beristirahat di bawah rimbun daunnya
sambil menikmati makan siangnya.
Tak ketinggalan penggembala domba juga mampir bersama puluhan domba yang
sedang ia gembalakan. Domba-domba sangat suka makan rumput yang tumbuh di dekat
Pohon Tua, sedangkan sang penggembala beristirahat sambil meniup seruling. Lagu
yang dimainkan sang penggembala berjudul ‘Dimanapun Hatiku Bersuka Ria’.
Pohon Tua sungguh senang mendengar suara seruling yang dimainkan oleh
penggembala domba itu. Pohon Tua menggerakkan tubuhnya mengikuti irama musik
yang dimainkan penggembala domba, sungguh hatinya begitu bersuka ria. “Tralala trilili…” Gerakan Pohon Tua itu
menimbulkan hembusan angin lembut yang menyegarkan.
“Teman-teman ayo mampir ke sini, matahari terik sekali siang ini, di
bawah pohon ini udaranya segar lho,” Kata beberapa burung berkicau,
menceritakan pada kawan-kawannya tentang segarnya suasana di bawah Pohon Tua.
Siang itu sinar mentari yang memancar ke bumi terasa teriknya. Beberapa burung
lain merasa tertarik untuk ikut singgah di Pohon Tua. Pohon Tua begitu senang
dan bahagia memiliki kawan yang banyak dan suka menyinggahinya.
Sebatang pohon yang bernama Pohon Muda tumbuh tak jauh dari Pohon Tua. Ia
sangat heran pada hal ini. Di musim kemarau ketika sumber air banyak yang kering
kerontang dan akar Pohon Muda sangat sulit mencari sumber air di dekat tubuhnya.
Pohon Muda melihat di seberang sana
Pohon Tua tetap berbahagia dan ceria. Jika jengkel, Pohon Muda sering berduka
namun sudah tidak mampu lagi mencucurkan air mata.
Pohon Muda juga sangat iri dengan banyaknya kawan-kawan Pohon Tua yang bertandang meskipun kemarau
tiba. Anehnya, Pohon Tua tetap menyambutnya dengan suka cita pada setiap tamu
yang datang bertandang. Para tamu tak jua segera pulang seakan begitu kerasan.
Sedangkan seekor Burung Pipit yang tadi siang sempat menghampiri Pohon Muda ternyata
hanya sebentar mampir kemudian terbang karena kepanasan. Daun-daun Pohon Muda
berguguran hingga merangas. Sungguh kemarau kali ini membuat Pohon Muda tambah berduka
cita.
Musim penghujan lalu, dia sempat melihat Pohon Tua ternyata tidak takut
dan khawatir. Saat petir dan halilintar sempat berkeliaran di desa mereka, dia melihat
Pohon Tua tetap bahagia menumbuhkan daun-daun mudanya. Sedangkan Pohon Muda
begitu ketakutan karena derasnya curah hujan yang sempat mematahkan
dahan-dahannya. Pohon Muda dengan susah payah harus menumbuhkan kembali tunas-tunas
daunnya. Sekali lagi, Pohon Muda amat keheranan dengan Pohon Tua.
Malam itu tiba-tiba Ulat Bulu bertamu ke desa mereka, membawa beberapa
rombongan yang banyaknya tak terhingga, tanpa permisi, bahkan tanpa tata krama.
Pohon-pohon di seluruh desa dihabisi daunnya tak bersisa. Pohon Muda menangis
menyaksikan daun-daunnya yang tak terlalu banyak ternyata ikut dimakan oleh Ulat
Bulu itu hingga tinggal tersisa dahannya.
Daun-daun di PohonTua itu juga mengalami nasib yang sama. Ulat-ulat bulu
juga memakan daun-daun Pohon Tua tanpa tersisa. Tapi Pohon Tua justru menyanyi
sambil tertawa. “Hai…hai…hai… aku sungguh bahagia, Ulat Bulu kawanku yang lama
tak bertamu, kini datang beribu-ribu. Hai…hai…! Mari bersama menyanyi dan tabuh
musikmu bertalu-talu”.
Pohon Muda merasa heran dengan nyanyian Pohon Tua di saat hati pohon Tua
sedang berduka. Akhirnya ia bertanya “ Pohon Tua! mengapa kau justru berbahagia
dengan kenyataan kita hari ini, bukankah daun kita habis dimakan Ulat Bulu tak
bersisa, mengapa kau tidak berduka?”
“Untuk apa berduka? Berduka itu tak ada gunanya. Ulat bulu juga sahabat
kita, mari kita sambut dengan suka cita. Percayalah tunas-tunas daun kita akan
tumbuh lagi tak berapa lama, maka tak ada gunanya berduka.”
“Oh jadi itu rahasia kokohmu? Selalu ceria di segala suasana?” Kata Pohon
Muda.
“Iya,” kata pohon Tua sambil tersenyum. Kini Pohon Muda bertekad akan
mencontoh Pohon Tua untuk selalu ceria di segala suasana.
mbak mau tanya, waktu kirim cerpen ini lewat email atau pos? kalau lewat pos alamatnya apa ya? terus majalah Berdi ini masih terbit ga sih? maaf banyak nanya. makasih ya
BalasHapusMajalah Berdi sekarang sudah tidak terbit. Dulu saya mengirimkan naskah lewat email. Sekarang banyak kok media-media yang meminta kita mengirim naskah lewat email. Semangat!
BalasHapus