Selasa, 8 Desember 2015. Di tengah cuaca musim hujan yang
tidak menentu saya berangkat dari Jakarta ke Depok. Siang itu masyarakat
Depok disuguhi Festival Kuliner Singkong 2015. Rangkaian kegiatannya mulai dari
peluncuran produk brownies singkong Bang Nur, lomba cipta kreasi pangan lokal
berbahan mocaf oleh PKK dan UPTD se-Kota Depok, pemecahan rekor MURI untuk
brownies singkong terpanjang, Seminar Ketahanan Pangan Nasional “Mengembalikan
Pangan Lokal Nusantara”, demo masak berbahan baku pangan lokal non beras dan
non terigu, dan aneka bazaar produk pangan lokal Nusantara.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (BPMK)
Kota Depok, Widyati Riyandani, mengatakan bahwa Festival Kuliner Singkong 2015
menjadi upaya sosialisasi ketahanan pangan. Mocaf dipilih karena merupakan
branding dalam program One Day No Rice (ODNR) yang telah menjadi anjuran bagi
masyarakat Kota Depok sejak dipimpin walikota Depok periode 2011-2015 Bapak Nur Mahmudi Ismail
.
Bogor dikenal dengan oleh-oleh khasnya lapis Bogor yang
berbahan talas dan Depok ingin
memperkenalkan brownies singkong selain juga belimbing yang sudah dikenal lama
sebagai oleh-oleh khasnya. Lewat gelaran ini, Depok hendak memperkenalkan
brownies singkong sebagai ikon baru kuliner khas yang tidak hanya lezat, tapi
juga sehat.
Singkong sangat potensial ditanam di daerah Depok, meskipun
demikian saat ini produksi mocaf (modified cassava flour) yang merupakan tepung
singkong modifikasi ini masih di Wonogiri yang terbesar dan kemudian Bogor.
Setelah brownies singkong ini berhasil dijadikan icon Depok, maka ada prospek
pada pengembangan pengolahan mocaf di Depok. Saat ini harga mocaf juga masih
lebih mahal daripada terigu, pasaran harganya Rp.11.000,00/kg.
Beberapa waktu sebelumnya panitia mengadakan lomba cipta
kreasi pangan lokal berbahan mocaf oleh PKK dan UPT Pendiddikan se-Kota Depok. Diikuti 11 Kecamatan yang
masing-masing mengirimkan 3-4 makanan siap saji beserta resep. Pemenangnya
adalah PKK Kecamatan Limo (juara 3), PKK Kecamatan Tapos (juara 2), dan PKK
Kecamatan Pancoran Mas (juara 1). Penilaian pemenang berdasarkan kreasi dan
inovasi, cita rasa, penyajian, dan presentasi, serta keamanan konsumsi.
Festival diselenggarakan untuk meningkatkan pengetahuan
akademisi terhadap ketahanan pangan sehingga Kota Depok menjadi diskursus
ilmiah yang produktif bagi dunia pendidikan. Tujuan lainnya adalah memasyarakatkan
pola makan beragam, bergizi, seimbang, aman, dan halal (B2SAH), dan media
promosi dan propaganda positif terhadap ketahanan pangan yang menjadi primadona
Kota Depok.
Pada kesempatan yang sama, Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail
mengatakan bahwa Festival Kuliner Singkong 2015 menerjemahkan geliat kesadaran
warga, mulai tingkat kota, kelurahan, RW, RT dan seterusnya terhadap pola makan
di Indonesia yang telah mengalami penurunan kualitas dan perubahan selera sejak
era 1970-an.
Dia menjelaskan penyebabnya, yakni kekurangpahaman terhadap
fisiologi tubuh dan kebutuhannya; kesejahteraan ekonomi masyarakat meningkat;
dan ketidakmampuan untuk mengendalikan hawa nafsu.Akibatnya kini banyak kasus
obesitas yang berakibat menjangkitnya penyakit diabetes mellitus dan berbagai
penakit tidak menular lainnya, ujar walikota Depok Bapak Nur Mahmudi saat
membuka Festival Kuliner Singkong 2015.
Kegiatan dilanjutkan dengan Seminar Ketahanan Pangan
Nasional “Mengembalikan Pangan Lokal Nusantara” dengan pembicara walikota Depok
Bapak Nur Mahmud Ismaili, Pengurus DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi)
Rita Ramayulis, dan Tatik dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI yang
dipandu presenter TV terkenal artis Indra Bekti.
Bukan dengan kajian sembarangan hingga akhirnya Depok
mengusung brownies singkong sebagai perwujudan ketahanan pangan sekaligus ikon
kota yang baru. Dahulu saat arus westernisasi sangat kencang, orang Indonesia
gengsi makan tempe, padahal tempe makanan khas Indonesia. Namun ketika tempe menjadi menu salah satu
restoran di Jepang, bahkan akhirnya justru dipatenkan di Jepang, Indonesia
mulai meliriknya. Demikian pula singkong, yang dengan manfaat kesehatannya,
tidak sepatutnya dipandang sebagai panganan kalangan bawah.
Rita yang merupakan Dosen Fakultas Ilmu Gizi Universitas
Pembangunan Nasional (UPN) ini mengatakan bahwa makan bukan semata untuk
mendapatkan nilai gizi, tapi nilai plusnya seperti kecantikan dan kebugaran.
Secara penampilan, singkong terlihat jelek dan tidak elit, tapi sumber
karbhohirat ini memiliki kandungan karotenoid sebagai bagian dari betakaroten
yang memberi manfaat antioksidan saat menjadi asupan untuk tubuh.
“Kita tahu, tingkat stres masyarakat perkotaan makin tinggi.
Polusi juga menjadi-jadi. Kalau tidak dikelola dengan makanan, maka oksidan
atau racun akan menumpuk dalam tubuh,” tuturnya.
Obesitas di Indonesia meningkat setiap tahun. Tahun lalu
11,7 persen dan sekarang 15,4 persen. Jika tidak dihentikan lajunya, maka 10
tahun mendatang akan menjadi 25 persen. Bahkan, 1 dari 4 orang Indonesia akan
mengalami obesitas. Menurut Rita, peningkatan prevalensi obesitas berkaitan
dengan peningkatan konsumsi nasi dan tepung terigu. Padahal, sumber karbohidrat
tidak semata tepung dan nasi.
“Terigu kalau dikonsumsi berlebihan, tidak cocok untuk orang
Indonesia. Terigu butuh peptidase untuk mencernanya sedangkan enzim tersebut di
tubuh orang kita tergolong rendah. Gluten pada tepung juga berkaitan dengan
autis dan anak-anak hiperaktif. Nasi mengandung pH asam sedangkan pH darah
cenderung netral. Jika dikonsumsi berlebihan, pH darah akan asam yang memicu
diabetes mellitus,” paparnya.
Depok telah selangkah lebih maju dalam hal ketahanan pangan.
Sebagai contoh Festival Kuliner Singkong 2015 yang merepresntasikan UU Nomor 17
tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Pasal di dalamnya menyatakan
bahwa pemerintah daerah mempunyai tugas untuk mengembangkan keanekaragaman pangan
di wilayahnya.
“ODNR mendukung program ketahanan pangan. Banyak makanan
pokok di Indonesia, tidak harus beras. Sekitar 77 sumber karbohidrat ada di
Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke. Singkong pun tanaman yang mudah
dikembangkan, dan ada di hampir seluruh Indonesia,” ujarnya.
Nur Mahmudi kembali mengatakan, selain mengganti makanan
pokok dari beras dan tepung, pola makan yang kini dikampanyekan di Depok adalah
beragam, bergizi, seimbang, aman, dan halal (B2SAH) sebagai ganti “4 sehat 5
sempurna” yang masih mengutamakan nasi. JIka tidak segera direspons, ujar dia,
kemungkinan pelan-pelan bukan hanya 25 persen prevalensi obesitas di Indonesia.
“Di perkotaan, termasuk Depok, bisa lebih dari itu. Bisa
sampai 30 persen, makanya kita programkan,” tandasnya.
Selain alasan kesehataan maupun kecantikan dan awet muda,
singkong pun membantu mengangkat perekonomian masyarakat pedesaan sebagai
petani singkong. Dia berharap warga kampung tetap produktif di tempatnya
tinggal untuk mengembangkan potensi daerah, termasuk singkong, dan menjadi
pemasok bahan utama bagi masyarakat perkotaan.
“Brownies singkong malah lebih sehat. Nasi ternyata jahat.
Saya lihat inspirasinya dari Pak Nur Mahmudi yang perutnya enggak buncit
seperti saya. Pak Nur mengaku empat tahun lebih enggak makan nasi dan terigu,”
tutur presenter kocak ini.
Terlihat ratusan orang memadati lokasi acara untuk turut
serta menikmati brownies singkong yang disusun menjadi sepanjang 600 meter
dalam acara Festival Kuliner Singkong kali ini. Salah satunya terlihat
presenter Indra Bekti yang mengakui bahwa rasa brownies singkong tidak berbeda
dengan brownies berbahan tepung terigu.
Namun demikian informasi acara ini sebelumnya kurang
tersebar merata, terbukti ada beberapa warga Depok yang tidak tahu acara ini,
bahkan ketika mereka ada di Margo City Mall tidak tahu bahwa acara ini untuk
umum dan mereka boleh merasakan brownies singkong dengan percuma tanpa membayar. Beberapa pengunjung yang hadir juga membawa beberapa kotak brownies padahal seharusnya hanya sekotak.
Peluncuran brownies singkong Bang Nur sekaligus ditandai
dengan pencatatan rekor brownies terpanjang di Indonesia oleh Museum Rekor
Indonesia (MURI). Brownies singkong dijejer rapi dan dihias cantik menjadi
sepanjang 600 meter. Brownies ini dibuat oleh 18 UKM kuliner di Depok selama
dua hari. Mereka berhasil membuat
2.020 loyang brownies yang menghabiskan 1,616 kwintal tepung mocaf, dan 8.080 butir
telur untuk menyajikan brownies singkong ini.
Kedepan diharapkan diversivikasi pangan dari bahan mocaf
akan banyak dittemukan, sehingga bisa meningkatkan perkembangan Usaha Kecil
Menengah di Depok. DKUP akan semakin gencar memasarkan produk tersebut lewat
pameran, online, maupun koperasi. Beberapa outlet yang berada di bawah naungan
Dinas Koperasi dan UKM Depok pun telah menawarkan brownies singkong, termasuk Pesona
Rasa, pusat oleh-oleh kuliner Depok yang dihadirkan di tingkat kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar