INGATLAH
NAMAKU
SELALU DALAM DO’AMU....
Jadikanlah
dirimu bukan hanya terkenal di kalangan penduduk bumi....
Tapi
juga bagi penduduk langit....
.
Sempat
kaget ketika beberapa orang menambah id-ku pada YM-nya!
Dan kebanyakan kaum laki-laki, setelah aku muncul
di milis dengan id-baru beberapa
bulan terakhir, id yang justru asli
namaku bukan nama samaran. Melihat id-ku
mereka mengira aku makhluk yang sama dengan mereka yaitu ”ber-merk” laki-laki dan mungkin mereka mengira
sangat tak mungkin aku adalah seorang perempuan.
Sapaan ’Akhi’, ’Mas’
dan ’Pak’ acap kali kubaca dalam chat
kami.
Sedikit
pikiran usil sempat menyelinap di hati... Biar saja deh... biar
saja mereka mengenalku sebagai laki-laki, ini sebuah kesempatan....yah
kesempatan untuk riset kalau mungkin tak boleh dianggap sebagai tindakan
mengusili orang lain....kebetulan aku sedang menyelesaikan sebuah novel
dengan
tokoh utama seorang laki-laki....dan aku
beranggapan sebelum novelku finishing,
proses risetku tak boleh dan tak pernah berhenti....he...he....
I’m
really sorry...I think it may be a really good chance to learn something
different.....
Sampai akhirnya sebuah sms dari seorang teman yang sempat
ku-curhati mengingatkan supaya aku segera menunjukkan identitasku meski
awalnya
sempat mendukung ide usilku.”Tapi setelah kupikir-pikir segeralah
tunjukkan
identitas jangan berpura-pura jadi
laki-laki…Ntar kamu nanti malah dicap macem-macem, kan kasihan kamu…”
Sebenarnya ini bukan kasus
pertama kalinya
berkenaan dengan namaku, banyak kasusku dimasa kecil hingga perjalananku
menuju
dewasa berkenaan dengan hal ini. Mau tahu…simak ya….Tak kenal maka tak
sayang,
tak kenal maka ta’aruf dong…! He…he…!
Aku dilahirkan sebagai anak
bungsu dari
tiga bersaudara, tapi lambat laun baru aku tahu ternyata saudaraku tiga
orang
tapi yang satu kakakku yang no-3 telah meninggal sejak bayi, tepatnya
dia hanya
sempat menghirup udara di dunia ini hanya beberapa jam saja. Kedua
orangtuaku
sangat merasa kehilangan, sampai akhirnya ketika aku lahir aku disambut
dengan
suka cita, nama yang indah menurut mereka dihadiahkannya untukku. Bayi
mungil
yang cantik kata almarhumah ibundaku waktu bercerita padaku dimasa
kecilku
perihal diriku. Hingga rangkaian nama yang indah berdasarkan falsafah
jawa
terangkai dan menjadi pengingat. Gesang Sari Mawarni itulah namaku, mau
tahu
artinya? Gesang artinya hidup dan Sari adalah bunga, sedangkan Mawarni
adalah
mawar yang berwarna-warni. Nama Gesang dianugerahkan karena kedua orang
tuaku
bersyukur atas diijinkannya oleh Allah untuk merawatku tidak seperti
kakakku
sebelumnya, apalagi aku memiliki riwayat kelahiran yang sulit, telat
dari
jadwal lahir dan hampir dioperasi Caesar
karena sulit lahir begitu menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Nama Sari
karena
waktu bayi aku begitu molek, lucu dan menggemaskan, aku sempat melihat
di fotoku
waktu bayi memang begitu, sedangkan nama Mawarni berawal dari kesukaan
ibundaku
terhadap bunga mawar, dulu waktu beliau masih hidup beraneka warna dan
jenis mawar sempat terkoleksi di rumah
kami.
Jadi nama Gesang bukan karena
bapakku ngefans berat dengan Pak Gesang pencipta
lagu Bengawan Solo….yang sangat
terkenal di seluruh pelosok dunia…bahkan seorang teman di YM sempat
bertanya”Mengapa
pakai id gesang? Bukannya gesang
sudah udzur(tua)?”
Aku awalnya sempat bingung
mendengar pertanyaannya,
baru akhirnya aku ’ngeh’, dia pasti
mengira ini hanya id buatan, pasti
dia tak mengira ini adalah nama asliku.
Seorang teman di YM juga berkata
jujur dia
tertarik dengan id-ku yang aneh
menurutnya, “nama id yang bagus,
gesang lalu ditambahi sari” katanya padahal dia bukan orang Jawa dan aku
yakin
dia tak banyak tahu tentang falsafah bahasa jawa.
Tapi
tahukah kalian….apakah aku bangga dengan namaku.....
Kekecewaan
sempat menjalari hatiku ketika aku mulai mempelajari Islam lebih
lanjut, bukankah nama adalah do’a... Mengapa namaku bukan nama yang
Islami?
Sempat tergetir rasa iri di hati ketika seorang teman memperkenalkan
diri
namaku Khasanah. Balqis, Hanifah, Salwa, Salma, Inayah, Kusnul, Khotim,
Nurul,
Sumayyah, Aisyah, Salsabila, Nabila, Asma’, Nur, Nisa’ dan berjajar nama
Islami
lainnya yang sangat indah penuh do’a. Ketika aku memperkenalkan diri
bukan
kebanggaan kadang aku harus sedikit menahan gejolak di dada. Pasti
begitu aku
selesai memperkenalkan diri akan muncul koor yang berbunyi ”geeeeeer....ha....ha...”.atau
minimal
senyum simpul misalkan itu di sebuah forum yang formal.
Lambat
laun aku berhasil menghibur diri bahwa namaku nama yang indah,
untung bapakku tidak menganugerahi aku nama “jemblem” yaitu sejenis
makanan
yang terbuat dari ketela pohon yang diparut lalu diberi gula merah di
dalamnya
lantas di goreng. Pasalnya Mbok Jemblem
adalah nama salah satu pedagang sayur tetangga nenekku.
Atau
bukan pula ”Cikrak” yaitu tempat yang kita gunakan untuk mengangkut
sampah setelah kita sapu. Dan Lek Cikrak
adalah pedagang nasi pecel dekat rumahku, atau bukan pula ”Tomblok”
yaitu
tempat mengurung ayam yang suka
berkeliaran. Pasalnya Mbokde Tomblok adalah nama tetangga nenekku
seorang
pedagang gerabah. Nama yang simpel dan sederhana yang dipakai oleh
orang-orang sepuh jaman dahulu yang kadang hanya
berupa nama yang diambil dari nama benda ternyata tidak diambil oleh
bapakku.
Beliau ternyata cukup bijak dan filosofis merangkai namaku.
Salah
satu hal yang membuat aku tidak teranugerahi nama yang Islami adalah
karena orang tuaku dulunya adalah penganut budaya Jawa yang kental.
Salah
seorang Ustadz yang membimbing keislamanku di masa kecil pernah
berwasiat supaya
aku memperkenalkan namaku dengan Sari saja, apalagi jika aku telah
dewasa,
namun karena nama Sari begitu pasaran-teman-temanku senantisa
membubuhkan nama
Gesang di depannya. Bahkan misalkan aku lama tak kontak temanku, lalu
aku yang
memulai telpon dan memperkenalkan nama Sari mereka perlu waktu untuk
berfikir,
tapi begitu aku memperkenalkan diri sebagai Gesang Sari mereka langsung
merespon.
Aku suka
menambah teman sejak kecil lewat korespondensi, temanku tersebar
di beberapa daerah bahkan aku juga sangat senang berkorespondensi dengan
teman-teman di luar negeri. Ada sebuah kisah unik tentang ini, masa-masa
SMP
kelas 3 aku mempunyai sahabat pena sebut saja namanya Putri, aku sedikit
kecewa
karena dia sudah tak pernah lagi membalas suratku. Nama dan alamatnya
sudah aku
hilangkan dari list orang yang akan
kukirimi surat. Beberapa tahun berikutnya ketika aku tengah kuliah
akhirnya
tanpa sengaja dan kukira justru kami bisa bertemu muka, saat dia telah
menikah
dengan salah satu kakak dari temanku. Baru aku tahu pacarnya ternyata
kakak
temanku yang saat itu telah menjadi suaminya begitu cemburu dengan
namaku yang
terkesan laki-laki, dulu kabarnya seringkali dia menitipkan surat-surat
untuk
sahabat penanya untuk diposkan lewat pacarnya ini, kebetulan si Putri
sangat
hobi berkorespondensi juga sepertiku, dia menuliskan di amplop surat
’teruntuk
Gesang S.M’, yang oleh pacarnya surat untukku tak pernah disampaikan
karena
cemburu. Bahkan pengakuan pacarnya yang saat bertemu muka denganku telah
menjadi suaminya bahwa ada 3 pucuk surat untukku telah
dibuang di tong sampah karena saking
cemburunya.
Waktu
masih mahasiswa di Unibraw Malang aku sempat aktif di beberapa
organisasi, dan seperti biasa pihak kaderisasi di organisasi selalu
ingin
memunculkan nama baru, waktu itu tiba-tiba aku
ditunjuk untuk menjadi ketua
sebuah acara karena beranggapan aku laki-laki, para senior di organisasi
bahkan tidak meminta kesanggupanku
awalnya pada waktu penunjukkan, hal ini di
karenakan mereka mengira aku laki-laki.
Meski emansipasi telah digulirkan saat itu masih banyak obsesi bahwa
kepemimpinan sebaiknya di tangan laki-laki
Pernah
pula suatu kali aku harus mengantri di sebuah bank untuk sebuah
keperluan, kebetulan di masa itu model mengantri dan pelayanan di bank
belum
memakai sistem nomor dan pangilan komputerisasi, seperti saat ini, aku
pernah
mengalami kasus tentang nama pula. Kebetulan bank sangat ramai siang
itu, aku
amat jenuh karena urutan antrianku di belakang, akhirnya setelah
kuantrikan
buku tabunganku, aku pulang dan balik kembali ke bank sesuai dengan
prediksi
waktu antrianku dipanggil. Begitu balik di bank aku menunggu di luar
beberapa
lama, aku belum juga dipanggil, beberapa saat sebelumnya sempat ada
panggilan
untuk ”Pak Gesang”, dalam hati aku berfikir begitu mendengarnya ternyata
nama
gesang pasaran juga ya...? J Namun
sampai antrian hampir habis namaku
belum dipanggil, bahkan orang yang antri dibelakangku urusannya juga
telah
selesai dan aku mulai curiga dan beranjak mendekati teller
bank yang bertugas memanggil nasabah. Apa coba
katanya...”Lho tadi sudah dipanggil kan...?”
”Belum
mbak” jawabku
Akhirnya
beberapa saat teller itu tersenyum, ”Oh..Gesang itu perempuan ya.?
J ”
Sebenarnya
salah satu hambatanku dalam mempublikasikan karya dalam bentuk
buku adalah karena aku tidak percaya diri terhadap namaku. Bayangkan
teman-temanku yang aktif di FLP Malang di tahun 2000, tahun disaat aku
mulai
bergabung dengan FLP, rata-rata telah menghasilkan minimal 1 buku,
bahkan ada
yang sudah 4. sedang aku hanya berkutat di media lokal, atau minimal
tulisanku
hanya muncul di buletin yang aku kelola. Bahkan mbak Sinta Yudisia
penulis
buku-buku best seller yang kukenal
kabarnya baru mulai aktif mempublikasikan karyanya di era 2000 dan kini
telah
menghasilkan 40 buku. Bayangkan betapa tertinggalnya diriku. Meskipun
semasa
kuliah aku cukup aktif menulis karya tulis ilmiah tapi itu bukan tulisan
yang
populer.
Setelah
sedemikian lama aku berkutat dengan diriku sendiri dan sejak aku
pulang kampung, rasanya mimpi untuk menjadi penulis ikut tenggelam.
Meskipun di
salah satu dinding kamarku ada sebuah kalimat yang menohokku yang
sengaja
kutempel sejak aku pulang kampung untuk penyemangati, ”Hai....kamu kok
ketinggalan kereta sih....! Get-Up!” kalimat ini
kudapat ketika aku merasa gagal
dan tertinggal dari beberapa temanku yang telah menerbitkan buku, namun
mimpi
itu seakan ikut terkubur dengan rutinitasku yang jauh dari komunitas
penulis.
Sampai akhirnya di di tahun 2008, Allah seakan menuntunku untuk kembali
dalam
komunitas. Bersama beberapa teman yang concern
terhadap budaya baca tulis di daerahku yang rendah, akhirnya kami
mengajukan
diri mendirikan cabang FLP di Blitar dan aku mendapat amanah untuk
menjadi ketuanya.
Ya Allah.... mau tak mau seorang pemimpin harus maju di depan.
Bagaimanapun
seorang pemimpin harus tampil.... tertatih aku berusaha bangkit aku
mencari
penguat di sana-sini, karena sungguh aku tak bisa berdiri sendiri.
Beberapa calling dari beberapa teman lama di FLP
yang kini karyanya telah terbit sedikit menyemangati ”Ayo kapan bukunya
muncul....sekarang kan sudah punya komunitas lagi jadi harus lebih
semangat...!”
”Aku
percaya kamu bisa kok! Cuma tinggal tambah tancap gas...OK tak tunggu
bukunya!”
Sungguh
kata-kata teman-teman begitu menyemangati, tapi mereka tak tahu
hambatan utamaku. Sampai akhirnya ketika aku sempat kontak dengan mbak
Sinta
dan aku bercerita bahwa aku sempat bimbang dengan nama
pena beliau menyemangati ”Nama Sari sudah
bagus kok gak perlu pakai nama pena...percaya deh sama
Mbak”
Gesang
adalah tanda kehidupan, banyak teman-teman salah mengartikan namaku
dengan subur, atau mungkin sengaja ’memplesetkan’
karena kebetulan tubuhku tidak kurus dan jauh dari istilah ’langsing’,
meskipun istilah ’gesang’ adalah lawan dari
istilah ’gersang’.
Gesang sampai kapanpun kata itu
dalam bahasa Jawa artinya senantiasa hidup, bahkan ketika aku telah mati
nanti,
semoga keindahan senantiasa bertambah
pula menghiasi akhlaqnya, karena ketika aku mati yang tertinggal
hanyalah nama.
Kawan...dengarkan aku....
Jika esok Aku bahagia ataupun berduka....
Tetaplah disampingku.....
Jika Esok aku bersalah....
Ingatkan dan maklumilah....
Karena aku hanyalah manusia yang penuh khilaf
Jika esok aku jatuh sakit....
Do’akanlahku.....
Dan jika esok kutelah tiada maafkan segala khilaf dan
salahku....
Karena ku tak tahu kapan Tuhan akan memanggilku
kembali.....
Sebelum itu terjadi....
Kuingin kamu tahu....
Bahwa aku bahagia memiliki kawan sepertimu.....
Yang selalu mengingat namaku dalam do’amu........
Gesang Sari Mawarni
Ponggok,
ditengah derasnya hujan sore 1 April 2009
Thanks a lot to mbak Sinta about the
beautiful
advise